Makalah Logika: Bab Pembahasan Perspektif Logika dalam Budaya Pamali
![]() |
Pamali (sumber: paradase.id) |
A. Logika dan Budaya
1. Pengertian Perspefktif, Logika, Kebudayaan, dan Masyarakat
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, perspektif adalah cara melukiskan suatu benda pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar, dan tingginya); sudut pandang; pandangan.
Sedangkan logika merupakan pengetahuan tertentu, kaidah berpikir; jalan pikiran yg masuk akal. Logika tak bisa lepas dari hukum kausal atau sebab akibat yang sarat dengan panca indra. Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat.
Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa diartikan dengan masuk akal.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya dapat diartikan sebagai pikiran; akal budi, adat istiadat. Menurut Koentjaraningrat (2009:144), kebudayaan merupakan sebuah sistem yang diciptakan oleh masyarakat untuk kelangsungat masyarakat itu. Koentjaraningrat menyatakan ada tujuh unsur budaya yang hidup dalam masyarakat yaitu (1) Sistem kepercayaan, (2) Ilmu pengetahuan, (3) Sistem Sosial dan organisasi kemasyarakatan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem pekerjaan, dan (7) sistem teknologi.
Manusia dan budaya adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sebagai makhluk sosial, manusia hidup berkelompok, saling membutuhkan satu sama lain. Sekelompok manusia yang mendiami suatu daerah dan mempunyai kebudayaan yang sama disebut masyarakat (William A. Haviland dalam Sundjaya (2008:4)). Dalam makalah ini, masyarakat Sunda merujuk pada suku Sunda yang mendiami sebagian besar wilayah di Jawa Barat dengan berbagai kekhasan bahasa dan budayanya.
2. Dasar dan Teori Logika
Logika dimulai sejak Thales (624 SM – 548 SM), filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta. Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif.
Logika ilmiah menjadi ilmu khusus yang merumuskan azas-azas yang harus ditepati dalam setiap pemikiran. Berkat pertolongan logika ilmiah inilah akal budi dapat bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih aman. Logika ilmiah dimaksudkan untuk menghindarkan kesesatan atau, paling tidak, dikurangi. Logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi.
Konsep bentuk logis adalah inti dari logika. Konsep itu menyatakan bahwa kesahihan (validitas) sebuah argumen ditentukan oleh bentuk logisnya, bukan oleh isinya. Dalam hal ini logika menjadi alat untuk menganalisis argumen, yakni hubungan antara kesimpulan dan bukti atau bukti-bukti yang diberikan (premis). Logika silogistik tradisional Aristoteles dan logika simbolik modern adalah contoh-contoh dari logika formal.
Dasar penalaran dalam logika ada dua, yakni deduktif dan induktif. Penalaran deduktif—kadang disebut logika deduktif—adalah penalaran yang membangun atau mengevaluasi argumen deduktif. Argumen dinyatakan deduktif jika kebenaran dari kesimpulan ditarik atau merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Argumen deduktif dinyatakan valid atau tidak valid, bukan benar atau salah. Sebuah argumen deduktif dinyatakan valid jika dan hanya jika kesimpulannya merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya.
Contoh argumen deduktif:
1. Setiap mamalia punya sebuah jantung
2. Semua kuda adalah mamalia
3. ∴ Setiap kuda punya sebuah jantung
Penalaran induktif—kadang disebut logika induktif—adalah penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum.
Contoh argumen induktif:
1. Kuda Sumba punya sebuah jantung
2. Kuda Australia punya sebuah jantung
3. Kuda Amerika punya sebuah jantung
4. Kuda Inggris punya sebuah jantung
6. ∴ Setiap kuda punya sebuah jantung
B. Sejarah dan Gambaran Umum Masyarakat Sunda
1. Sejarah Suku Sunda
Rouffaer menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari akar kata sund atau kata suddha dalam bahasa Sansekerta yang berarti bersinar, terang, berkilau, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289). Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali, kata “Sunda” berarti bersih, suci, murni, tak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada. Kata “sunda” digunakan sebagai nama kerajaan.
Sejarah menyebutkan bahwa nama Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk menyebut ibukota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya. Untuk mengembalikan pamor Tarumanagara yang semakin menurun. Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13 kemudian mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini menjadi alasan pemisahan Kerajaan Galuh dari kekuasaan Tarusbawa. Akhirnya kawasan Tarumanagara pecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Sistem kepercayaan masyarakat Sunda sangat dipengaruhi oleh sejarah kepercayaan nenek moyang, pengaruh ajaran Hindu-Budha, dan ajaran Islam. Banyak mitos, ritual dan kepercayaan yang masih dipegang sampai saat ini, terutama pada masyarakat adat. Terlebih, ajaran Sunda dahulu sangat mengutamakan mengikuti ajaran orang tua (leluhur) karena jika meninggalkan ajarannya niscaya akan ditimpa kesusahan dan penyakit.
Karakteristik kuat dari budaya Sunda terletak pada sopan santun dan keramah tamahan suku Sunda. Maka tak heran, masyarakat Jawa Barat terkenal murah senyum, ramah, lemah lembut, sopan dan menghargai orang yang lebih tua. Kesopanan dan kelemahlembutan Urang Sunda bisa dilihat dari bahasa Sunda dan cara mengucapkan bahasa tersebut, selain tersusun dengan sopan, cara mengucapkannya juga terbilang lembut.
2. Gambaran Masyarakat Sunda Saat ini
Masyarakat Sunda merujuk pada kelompok manusia dari Suku Sunda (Urang Sunda) yang mendiami wilayah barat Pulau Jawa atau disebut Tatar Pasundan. Suku Sunda merupakan etnis terbesar kedua di Indonesia dengan persentase 15,41% dari penduduk Indonesia. Walaupun begitu, tokoh nasional dari Suku Sunda ternyata tidak terlalu signifikan jumlahnya.
Mayoritas masyarakat Sunda memeluk agama Islam. Ada juga yang menganut aliran kepercayaan Sunda Wiwitan dan agama lain. Masyarakat Sunda yang tinggal di pedesaan umumnya bermata pencaharian sebagai petani disebabkan tanah Sunda yang subur. Mereka yang tinggal di perkotaan biasanya yang memiliki beragam profesi dan tentunya sudah berbaur dengan masyarakat dari suku lain. Terlebih di kota besar seperti Bandung yang banyak didatangi perantau. Berbeda sekali dengan karakteristik masyarakat adat yang tetap memegang teguh tradisi Sunda, seperti masyarakat adat di Kampung Naga Tasikmalaya dan Kampung Dukuh Garut.
Bahasa Sunda menjadi bahasa pengantar dalam pergaulan masyarakat Sunda, dengan dialek yang berbeda-beda. Terdapat tingkatan-tingkatan penggunaan bahasa (undak-usuk basa) yang dibedakan berdasarkan dengan siapa lawan bicara kita. Istilah basa loma digunakan saat berbicara dengan orang yang sederajat/seumuran/teman akrab; basa lemes untuk orang tua atau yang dihormati, atau pada saat acara formal; dan basa kasar yang digunakan untuk umpatan atau untuk binatang.
Wilayah Jawa Barat sebagai pusat domisili masyarakat Sunda berada sangat dekat dengan ibukota Republik Indonesia. Maka tidak heran, daerah ini cukup berkembang dari segi pembangunan dan investasi ekonomi. Kedatangan pendatang dari seluruh Indonesia untuk merantau dan hidup di Jawa Barat tak bisa dibendung. Akibatnya terjadi interaksi dan perubahan kehidupan berbudaya masyarakat Sunda yang lebih mengedepankan budaya modern. Penggunaan bahasa Sunda di kota-kota besar semakin jarang kita jumpai. Hal ini bisa jadi menyiratkan pemilik Bahasa Sunda tidak menempatkan bahasanya sebagai bagian penting dalam kehidupan mereka.
Selain soal bahasa, hal penting tentang kelompok etnis adalah falsafah hidup mereka. Falsafah hidup masyarakat Sunda yang sering didengungkan adalah:
a. Cageur (sehat rohani dan jasmani);
b. bageur (kepribadian yang baik, ramah, sopan, dan memiliki tata krama luhur);
c. bener (berpijak pada perbuatan dan nilai yang benar seperti jujur dan amanah);
d. pinter (pandai, memiliki wawasan, pengetahuan dan kompentensi);
e. singer (kreatif dan inovatif).
Nilai-nilai identitas dan karakter masyarakat Sunda dilandasi oleh sikap silih asih, silih asah dan silih asuh. Filosofi hidup masyarakat Sunda sangat menghargai alam dan harus hidup selaras dengan alam; menanamkan nilai-nilai etika dan religius yang terkandung didalamnya dalam kehidupan sehari-hari.
C. Pengertian dan Jenis-Jenis Pamali
1. Pengertian Pamali dan Contohnya
Budaya lisan sangat erat dengan kebudayaan yang hidup di dalam suku Sunda. Hal ini dikarenakan tradisi lisan yang hidup lebih dulu dari tradisi tulis di dalam perkembangan budaya tanah Sunda. Karya-karya peninggalan sejarah yang cenderung lisan adalah pupuh, carita pantun, pamali, dongeng, wawacan, dan lain sebagainya.
Pamali merupakan tradisi lisan yang memiliki keunikan tersendiri, mengandung cerminan adat dan perilaku masyarakat Sunda dalam satu kalimat larangan. Beberapa orang menyebutkan pamali merupakan suatu tindakan yang tidak baik untuk dilakukan. Pamali diartikan masyarakat sebagai sebuah larangan/pantangan menurut orang tua zaman dahulu yang apabila dilanggar akan ada risiko yang harus ditanggung oleh pelakunya. Ada juga yang menyebutkan pamali hanya sebuah mitos atau suatu hal yang tabu untuk dilakukan.
Menurut Danadibrata (2009, hal. 489) dalam kamusnya menyebutkan pamali adalah sebagai suatu larangan yang jika dilarang akan mendatangkan celaka. Dalam beberapa pembahasan pamali juga berperan sebagai aturan-aturan masyarakatnya khususnya masyarakat Sunda yang mengatur segala pola hidup masyarakatnya diluar kepercayaan masyarakat terhadap agama. Pamali belum bisa ditentukan berasal dari mana bahkan sejak kapan, yang jelas pamali banyak dimiliki oleh suku bangsa di Indonesia.
Pamali biasanya dikatakan oleh orang tua kepada anak-anaknya sebagai bentuk teguran. Ada yang berpendapat bahwa pamali merupakan sebuah istilah agar anak-anak mengetahui mana hal yang baik untuk dilakukan dan hal yang tidak baik untuk dilakukan. Contoh, kita tidak diperbolehkan duduk-duduk di depan pintu. Orang tua akan menyebutkan jika kita duduk di depan pintu, maka kita akan sulit mendapatkan jodoh. Contoh pamali lainnya adalah larangan tidak menghabiskan nasi saat makan, menyebarkan kabar angin, melangkahi makanan, memotong kuku pada malam hari, duduk di meja, bersiul pada malam hari, memegang kepala orang lain dan masih banyak lagi. Selain untuk anak-anak, pamali pun ditujukan kepada wanita hamil, pamali untuk kegiatan sehari-hari, dan pamali untuk lelaki dan perempuan.
Berikut ini contoh-contoh ungkapan pamali yang sering digunakan di masyarakat Sunda.
1. Ulah neukteukan kuku peuting-peuting
Arti dari pamali ini adalah jangan memotong kuku malam hari dengan mitos bahwa hal itu dapat membuat orang yang melakukannya jatuh sakit atau malah meninggal dunia.
2. Ulah kaluar imah sareupna
Pamali ini bermakna jangan keluar rumah saat menjelang malam. Mitosnya adalah bisa diculik oleh setan.
3. Ulah cicing di lawang panto
Artinya adalah jangan diam di muka pintu. Mitos yang sering diungkapkan terkait pamali ini adalah orang tersebut akan sulit mendapatkan jodoh.
4. Ulah ngaremeh
Arti dari pamali ini adalah jangan menyisakan nasi di piring sebutir pun. Mitos yang kerap disampaikan adalah dapat mengakibatkan binatang peliharaan kita akan mati.
5. Ulah dahar bari ceceplak
Pamali ini bermakna agar jangan makan dengan mengeluarkan suara dari lidah atau mulut kita yang biasanya muncul dari gesekan dengan air liur. Suara gesekan itu yang disebut ceceplak. Perlu dibedakan antara makan sambil berbicara (sambil ngobrol-ngobrol) dengan makan sambil ceceplak. Orang Sunda tidak pamali untuk makan sambil berbicara, tetapi sangat pamali untuk makan sambil ceceplak. Mitosnya adalah dapat membuat kita jadi bahan gunjingan orang lain atau mengundang binatang buas.
D. Perspektif Logika Dalam Budaya Pamali Masyarakat Sunda
Metode pendidikan saat ini mengarah pada ilmu pengetahuan barat yang mengedepankan studi ilmiah, sesuai fakta dan logika. Berbeda sekali dengan zaman dahulu, ketika kepercayaan, ritual, dan hal-hal berbau metafisika sangat kental dan dipercayai keberadaannya. Jika ditelaah kembali, ungkapan pamali seperti “dilarang duduk di depan pintu karena takut sulit mendapatkan jodoh” akan terasa menggelikan dan sulit diterima oleh masyarakat modern. Akan muncul pertanyaan “apa hubungannya duduk dengan mendapatkan jodoh?”. Lantas, apakah masyarakat Sunda tidak berlogika?
Aturan dan pantangan pamali itu terjadi tak lepas dari karakteristik masyarakat Sunda itu sendiri yang berpegang teguh pada adat, di antaranya :
- Tarapti : kehidupan masyarakat sunda selalu tertib dalam hal apa pun
- Siloka : .dalam mengungkapkan sesuatu masyarakat Sunda tidak pernah secara langsung tapi menggunakan gambaran atau kiasan hingga tidak menyinggung orang lain.
- Ramah Tamah Someah Hade Kasemah : selalu menghormati tamu atau siapapun juga.
- Teu Adigung Adiguna Luhur Kuta Gede Dunya : tidak Sombong
- Handap Asor : Selalu menghargai orang lain.
Menurut penulis, ungkapan lisan pamali lahir sebagai instrumen kontrol sosial yang dipengaruhi budaya leluhur nenek moyang. Dalam budaya Sunda, pendapat dan perkataan orang tua adalah hal yang harus dihormati dan dihargai. Terlebih, kepercayaan masyarakat zaman dulu terhadap mitos dan hal-hal berbau metafisik masih cukup tinggi. Etika sebagai penerapan sikap tarapti dan handap asor menjadi alasan pamali lahir dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagai contoh, saat anak-anak dilarang untuk bermain saat magrib dan setelahnya. Jika sudah terdengar Adzan Maghrib, maka orang tua akan menuruh anak-anak mereka pulang dengan alasan pamali jika bermain pada malam hari karena anak-anak dapat diambil oleh makhluk halus. Mitos “akan diculik makhluk halus” sangat erat kaitannya dengan klenik dan tahayul. Namun sebenernya dalam pamali ini terkandung ajaran Islam. Anak-anak diperintahkan pulang ke rumah sebelum malam karena pada malam hari, kejahatan atau kecelakaan lebih rawan terjadi dibandingkan pada siang hari. Bermain di malam hari pun cenderung akan mengganggu waktu istirahat orang lain. Selain itu, waktu selepas maghrib seharusnya diisi dengan kegiatan keagamaan seperti shalat dan mengaji, bukan malah bermain.
Mungkin orang tua dulu, lebih mudah untuk menanamkan suatu norma kepada anak-anaknya melalui mitos atau sekedar menakut-nakuti anaknya sehingga anak tersebut tidak akan berani melakukan hal itu lagi. Oleh karena itu, budaya pamali menjadi suatu instrumen penting bagi masyarakat untuk menanamkan norma.
Dalam Kehidupan masyarakat Sunda zaman dahulu, banyak sekali larangan atau pamali yang tidak boleh di lakukan oleh suku Sunda. Walaupun saat ini hal tersebut sudah jarang di ikuti oleh generasi saat ini, tetapi mungkin kita masih dapat mengambil sebuah pelajaran dan pegangan hidup, karena dari hal itu ada sebuah khazanah adi luhung dan kearifan lokal dari budaya Sunda yang patut kita lestarikan.
Jika dilihat dari teori logika dan hukum kausalitas, maka ungkapan pamali menjadi tidak masuk akal. Tetapi, jika kita berpendapat bahwa logika adalah cara pandang sesuai akal dalam bertingkah laku yang baik, maka akan diperoleh alasan logis mengapa pamali bisa lahir dan muncul di masyarakat Sunda. Hal-hal yang bisa kita ambil pelajaran dari ungkapan pamali di antaranya:
1. Ulah neukteukan kuku peuting-peuting
Arti dari pamali ini adalah jangan memotong kuku di malam hari dengan mitos bahwa hal itu dapat membuat orang yang melakukannya jatuh sakit atau malah meninggal dunia. Perhatikan bahwa pamali ini muncul pada masa ketika fasilitas penerangan di daerah-daerah tempat tinggal orang Sunda belum begitu baik dan situasi malam hari sangat gelap. Secara logika, pamali ini terkait dengan kekhawatiran akan teririsnya bagian kuku atau bagian tubuh yang lain. Jadi, memotong kuku dalam situasi itu lebih baik dilakukan siang hari saja. Di masa kita sekarang, tentu saja tidak masalah memotong kuku malam hari jika cahaya cukup menerangi saat memotong kuku.
2. Ulah kaluar imah sareupna
Pamali ini bermakna jangan keluar rumah saat menjelang malam. Mitosnya adalah bisa diculik oleh setan. Perlu diketahui bahwa pamali yang satu ini sebetulnya berasal dari salah satu anjuran dalam agama Islam untuk menahan anak-anak di waktu magrib hingga isya agar tidak berkeliaran di luar rumah karena saat itu adalah waktunya setan-setan beraksi menggoda manusia. Anak-anak dalam hal ini dianggap yang paling rentan terhadap gangguan setan.
Mungkin masyarakat Sunda dahulu agak keras memaknai anjuran agama Islam itu sehingga mitos yang muncul adalah bisa “diculik” setan. Anjuran agama tentunya merupakan suatu keyakinan yang tidak perlu dipertanyakan lagi bagi penganutnya. Namun, secara logika biasa, sebetulnya bisa kita katakan bahwa lebih baik anak-anak yang belum wajib shalat agar beraktivitas di rumahnya saja dan bergegas istirahat malam sehingga kondisi fisiknya lebih bugar. Sementara itu, yang sudah wajib shalat bisa berjamaah magrib dan isya di masjid dan selang waktu antara magrib hingga isya diisi dengan belajar Alquran. Lepas isya pun tetap dianjurkan agar segera beristirahat ketika tidak ada kepentingan lain yang mendesak. Dengan demikian, kita terhindar dari perbuatan yang sia-sia.
3. Ulah cicing di lawang panto
Artinya adalah jangan diam di muka pintu. Mitos yang sering diungkapkan terkait pamali ini adalah sulit mendapatkan jodoh. Sebetulnya secara logika kita cukup katakan bahwa berdiam di depan pintu dapat menghalangi sirkulasi orang lain keluar-masuk ruangan dan terlihat tidak etis sehingga ditakutkan akan dicap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun.
4. Ulah ngaremeh
Arti dari pamali ini adalah jangan menyisakan nasi di piring sebutir pun. Mitos yang kerap disampaikan adalah dapat mengakibatkan binatang peliharaan kita akan mati. Secara logika kita diperintahkan agar tidak menyisakan makanan sebagai upaya kita hidup sehat dan bersih, dan bersyukur karena masih dapat menikmati makanan.
5. Ulah dahar bari ceceplak
Pamali ini bermakna agar jangan makan dengan mengeluarkan suara dari lidah atau mulut kita yang biasanya muncul dari gesekan dengan air liur. Suara gesekan itu yang disebut ceceplak. Sebetulnya bisa kita katakan bahwa jangan makan sambil ceceplak itu karena pada budaya kebanyakan orang Indonesia (tidak hanya Sunda) kebiasaan tersebut bisa membuat risih orang-orang di sekitar dan dianggap tidak sopan.
Pamali mungkin hanya sebuah budaya lisan yang terkesan berlebihan. Namun jika dilihat dari tujuan penggunaanya, pamali akan menjadi benar secara logika. Beberapa alasan budaya pamali mulai jarang diterapkan pada masyarakat Sunda saat ini adalah:
1. Berkurangnya penutur bahasa Sunda, terutama di kota-kota besar;
2. Pamali dianggap tidak logis dilihat dengan ilmu pengetahuan saat ini;
3. Pamali dianggap bertentangan dengan ajaran Islam yang melarang menyandarkan kesialan kepada sesuatu di luar kehendak Tuhan karena akan menodai akidah keislamannya.
Posting Komentar untuk "Makalah Logika: Bab Pembahasan Perspektif Logika dalam Budaya Pamali"